DON'T LIKE ME

Hypermarket, Raksasa-raksasa yang Kian Perkasa


 ----------------------------------------------------------------------------------
Carrefour, Giant, Makro, Hypermart, The Club Store, Alfa dan Indo Grosir. Rasanya, nama-nama ini tak lagi asing di telinga Anda ? bahkan mungkin Anda secara rutin mengunjunginya sebulan atau seminggu sekali. Sekurang-kurangnya pasti Anda pernah melintas di dekat gerai mereka di berbagai kawasan yang sedikitnya telah mencapai 56 unit.

Meriahnya sambutan konsumen tercermin dari kemacetan di sekitar toko-toko ini akibat antrean mobil yang keluar-masuk ke sana. Pada jam-jam tertentu, lebih-lebih di hari libur, mencari ruang parkir di toko grosir seperti Carrefour, misalnya, membutuhkan perjuangan tersendiri. Antusiasnya konsumen semakin tegas tergambar dari antrean konsumen di depan kasir yang mengular bisa hingga 15 orang ke belakang. Padahal, rata-rata toko umumnya mempunyai 20-30 kasir yang mampu melayani dengan sangat cekatan.

Luar biasa. Padahal, hingga sekitar satu dekade lalu, konsep hypermarket belum akrab di tengah masyarakat Indonesia. Kita memang sudah mengenal toko grosir, tetapi skala perusahaannya masih kecil-kecilan, semisal toko Babah Liong atau Wan Abud di ujung gang sana. Dan yang biasa berbelanja di toko seperti ini adalah para pedagang eceran. Ketika Makro mulai beroperasi pada 1992, masyarakat tak serta-merta menyerbu toko grosir asal Belanda ini. Letaknya yang jauh di pinggiran kota, hanya menjual dalam partai besar, dan pembeli pun harus menjadi anggota ? dengan membayar iuran yang lumayan besar ? membuat orang enggan belanja di sana.

Situasi berbalik ketika Carrefour hadir pada 1998. Berawal dari pinggir kota, dengan cepat Carrefour merangsek ke tengah kota: Kuningan, Cempaka Putih, Senayan, Mangga Dua, dan sebagainya. Apalagi sejak beberapa waktu sebelumnya, atas nama persaingan bebas, ketentuan yang mengatur toko grosir harus berlokasi di pinggiran kota menjadi mandul. Toko-toko grosir masuk kota, berhadapan dengan supermarket dan toko kelontong. Bila semula yang boleh belanja di toko grosir hanya para anggota ? yaitu toko kelontong, koperasi, dan sejenisnya ? belakangan aturan ini juga tak bergigi. Giant (Grup Hero) yang hadir sejak 2002 dan Hypermart (Grup Matahari/Lippo) yang hadir sejak 2004 tak menerapkan sistem ini.

Dengan cepat Carrefour melaju dan terus menambah gerainya di berbagai lokasi, mengepung Jabotabek. Apalagi setelah ia mengakuisisi mitra tandingnya, Continent, juga raksasa ritel asal Prancis. Kini Carrefour telah memiliki 15 gerai ? 11 di Jabotabek dan masing-masing satu di Bandung, Surabaya, Medan, dan Palembang. Dalam waktu dekat Carrefour juga akan membuka sekitar 7-10 gerai lagi sehingga kian menegaskan posisinya di puncak piramida hypermarket di Indonesia (dan Cina, dengan 53 toko plus 10 toko lagi yang akan dibuka pada 2005).

Makro pun kini telah memiliki 15 gerai di Jabotabek, Semarang, Sidoarjo, Denpasar, Makassar, Palembang dan Pekanbaru. Sementara Hero ? yang gerai supermarket-nya terus dipepet hypermarket ? sejak 2002 meluncurkan Giant, bergandengan dengan Dairy Farm (Malaysia). Grup Matahari/Lippo yang pernah gagal dengan M-Store-nya, sejak tahun ini kembali ke gelanggang dengan bendera Hypermart. Kini wajah baru tapi lama ini telah memiliki tiga gerai di Karawaci, Serpong dan Tangerang, serta siap membuka 10 gerai lagi pada 2005.

Pertumbuhan hypermarket yang fenomenal (15% per tahun) menjadikan pertumbuhan supermarket tertinggal jauh (6% per tahun). Padahal, menurut Handaka Santosa, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, investasi yang dibutuhkan untuk satu gerai (kurang-lebih 5 ribu m2) rata-rata mencapai Rp 30-50 miliar. Ini baru untuk bangunan fisik, belum biaya SDM dan biaya umum lainnya, serta biaya promosi dan pemasaran yang bisa mencapai Rp 10-20 miliar di tahun pertama.

Ada banyak alasan mengapa hypermarket begitu memukau dan menyedot konsumen berdatangan. Selain tempatnya nyaman (sejuk, bersih dan luas), lokasinya strategis (kini banyak di tengah kota), harga yang diberikan pun sangat bersaing. Tak kalah penting: pilihan produknya begitu banyak. Carrefour, misalnya, menyediakan sekitar 37 ribu item produk, sementara Hypermart 30 ribu, Makro 10 ribu, dan Giant bahkan hingga 50 ribu item. Di hypermarket kita bisa mendapatkan mulai dari keperluan dapur hingga furnitur, kebutuhan rumah tangga hingga perlengkapan kantor, produk fashion ataupun barang-barang elektronik. Selain tempat berbelanja, rata-rata gerai juga membuka pusat jajan dan kafe yang membuat konsumen betah berlama-lama di sana. Benar-benar one stop shopping. Waktu operasionalnya juga panjang, hingga pukul 22.00 ? bahkan sesekali, biasanya menjelang Lebaran dan Tahun Baru, mereka buka hingga 24 jam. Masih ada lagi: beberapa hypermarket juga membuka layanan antar (delivery service) sehingga konsumen benar-benar menjadi raja.

Sementara konsumen bergembira menyambutnya, tak sedikit pula pihak yang gerah dengan maraknya toko grosir. Pasalnya, kehadirannya menciptakan ?tata niaga? tersendiri yang memakan banyak mangsa. Supermarket yang kini berdiri di lokasi berdekatan digoyang hingga pertumbuhannya menukik tinggal 6%. Pemasok dan produsen ? khususnya yang berskala kecil ? menjerit karena dengan kekuatan jaringan yang dimilikinya hypermarket mendikte harga dan tempo pembayaran. Distributor pun gigit jari karena hypermarket umumnya langsung membeli produk ke produsen. Sementara itu, omset toko kelontong yang mengambil barang dari distributor terus terjun bebas karena digerogoti toko grosir.

Namun ?pelanduk? yang paling menderita adalah pasar tradisional. Ketika gajah bertarung sama gajah, pasar tradisionallah yang mati di tengah-tengah. Tempat ini memang tak lagi mampu memberikan keunggulan kompetitif. Selain becek dan bau, waktu operasionalnya pun terbatas. Mustahil seorang wanita karier mencuri waktu pada jam kantor untuk ke pasar becek. Mereka jelas akan memilih hypermarket ataupun supermarket, yang masih buka selepas kantor.

Alhasil, meski kehadirannya sangat menyenangkan konsumen, sepak terjang hypermarket tetap patut dicermati. Harus ada kebijakan yang menentukan aturan main agar pelaku bisnis ritel lain ? baik supermarket, minimarket, maupun pasar tradisional ? bisa hidup berdampingan. Juga, harus dijaga agar hubungan grosir-pemasok jangan berat sebelah: grosir makin digdaya sementara pemasok kian nelangsa. ?Perlu ada undang-undang yang paling tidak mengatur empat poin: zonasi, harga, jam buka, dan permodalan,? kata pengamat ritel Syamsul Munir. Kebijakan seperti ini sebenarnya pernah diterapkan, tetapi seiring dengan semboyan pasar terbuka kini sepertinya terlupakan. ?Kita masih memerlukannya,? lanjut Syamsul. Bahkan, Thailand pun memiliki Undang-undang Perdagangan Eceran (Retail Act) untuk melindungi pedagang kecil dan produsen.

Harus disadari, bagaimanapun tren ke arah maraknya toko grosir akan terus berlangsung, seperti terlihat baik di negara maju maupun negara berkembang lain (Korea, Thailand, Cina, Malaysia, dan lainnya). Namun kita juga perlu menciptakan iklim bisnis yang sehat, yang mampu melindungi si lemah dan mendorong berkembangnya pemain lokal.

By : Bang Udin
----------------------------------------------------------------------------------
Gunakan ----{ CTRL + F }---- Untuk Mencari Artikel
----------------------------------------------------------------------------------
Postingan Baru :
TERIMAKASIH SUDAH BERKOMENTAR


Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar