DON'T LIKE ME

Hypermarket, Raksasa Baru Dunia Ritel


 ----------------------------------------------------------------------------------

Malam menunjukkan pukul 23.00 WIB ketika Cecep Harianja tak kunjung bisa memejamkan matanya. Sudah satu jam lebih ia merenungi nasib toko kecilnya di dekat perempatan Lebak Bulus yang kian hari semakin sepi. Sejak kehadiran Carrefour di kawasan itu, praktis omset tokonya yang menjual produk kebutuhan sehari-hari merosot tajam. Bila dulu bisa meraih omset Rp 500 ribu sehari, belakangan tinggal Rp 150 ribu saja. Bahkan kalau tengah sepi, omsetnya tak sampai Rp 100 ribu.

Kegelisahan Cecep hanyalah ekses kecil — bahkan sangat kecil — dari gelombang ekspansi besar-besaran hypermarket saat ini. Dalam 2-3 tahun terakhir, gairah bisnis hypermarket memang benar-benar tak terbendung. Format ritel ini mengeliat begitu pesat. Tidak hanya di Jakarta dan sekitarnya (Jabotabek), bersamaan dengan itu juga merambah ke Bandung, Surabaya, Medan, Denpasar, dan seterusnya.

Awal 1990-an orang masih melihat Makro sebagai hypermarket yang eksklusif dari Belanda — terutama karena ada sistem keanggotaan untuk bisa belanja di sana — diikuti kehadiran Continent dan Carrefour secara hampir bersamaan tahun 1998, yang kemudian keduanya merger menjadi Carrefour. Sekarang, terlihat pemandangan baru: begitu banyak hypermarket bermunculan. Selain Carrefour dan Makro yang terus membiakkan diri (memiliki 15 gerai), kini ada Giant, Hypermart, Alfa, dan The Club Store. Hypermarket Giant yang dimiliki Grup Hero dan Dairy Farm sebut saja, hanya dalam waktu dua tahun (mulai beroperasi 2 Agustus 2002) sudah memiliki 10 gerai. Kini gerai Giant tersebar di Serpong, Bekasi, Cileduk, Cimanggis, Bandung, Surabaya dan juga Jakarta (Plaza Semanggi).

Agresivitas dan sambutan pasar yang cukup bagus pada Giant tampaknya menjadi pelipur lara tersendiri buat manajemen Hero, karena berarti mengeliminasi pesimisme gara-gara Supermarket Hero di berbagai tempat cenderung stagnan atau bahkan makin menurun. “Manajemen Hero kelihatannya sangat happy dengan kinerja Giant,” ujar seorang petinggi di asosiasi ritel yang tak bersedia disebut namanya.

Tidak hanya Giant, raksasa hypermarket asal Prancis, Carrefour, seharusnya lebih happy pula. Pasalnya, di antara para pemain hypermarket lain, Carrefourlah yang sekarang mendominasi, baik dari segi jumlah gerai maupun omset bulanan. Meski belum ada data riset yang menunjukkan dominasinya, dipastikan Carrefour adalah pemimpin pasar hypermarket saat ini. Jumlah 15 gerai yang dimilikinya sekarang, kemungkinan akan terus bertambah. Seperti saat ini Carrefour tengah menyiapkan pembukaan gerai baru yang cukup besar di Yogyakarta, tepatnya di Plaza Ambarukmo yang dikembangkan keluarga Kesultanan Yogyakarta, serta pembukaan di Blue Oasis City, Bekasi.

Grup Alfa tak mau ketinggalan. Alfa memiliki 25 gerai yang diposisikan sebagai gudang rabat. Gerai Alfa memang tak sebesar Carrefour atau Giant, tapi jauh lebih besar dari kelas supermarket. “Gudang rabat Alfa lebih tepat disebut sebagai compact hypermarket,” ujar Yongky Surya Susilo, Direktur AC Nielsen dalam sebuah seminar beberapa waktu lalu. Hypermarket ala Alfa ini juga sudah ada di luar Jabotabek, termasuk di Jember, Malang, Surabaya, Yogya, Cirebon, Bandung, Denpasar dan Makassar.

Grup Lippo juga termasuk salah satu pemain baru yang kini amat serius mengembangkan hypermarket melalui anak usahanya, PT Matahari Putra Prima (MPM). Dinamai Hypermart, pada tahun pertama, Grup Lippo langsung membuka empat gerai sekaligus: di Serpong, Solo, Tangerang dan Karawaci. Bahkan, kabarnya jumlah gerai masih akan terus bertambah, yakni dari reposisi gerai Matahari yang kinerjanya dianggap kurang bagus.

Danny Kojongian, Direktur MPM, menjelaskan, tahun 2005 pihaknya akan membuka 10 gerai baru Hypermart. Kota yang diincar antara lain Jabotabek, Medan, Makassar dan Manado. Untuk itu telah disiapkan anggaran Rp 400 miliar. Hingga tahun 2010, MPM menargetkan telah punya 50 gerai Hypermart, dan mulai 2007 diharapkan Hypermart mampu menyumbang 80% pendapatan MPM. Adapun MPM sendiri tahun 2004 diperkirakan memiliki omset total Rp 5,5 triliun.

Jadi, tidak bisa dipungkiri, hypermarket kini menjadi primadona baru pebisnis ritel. Dalam situasi persaingan yang sangat ketat ini, para pemain yang ada terus saja menambah jumlah gerainya. Manajemen Giant, misalnya, tahun 2005 menargetkan membuka 8 gerai baru. Sementara Makro siap menambah tiga gerai baru. “Tiga tahun ke depan kami menargetkan menambah 15 gerai baru,” kata Simon Collins, Presdir PT Makro Indonesia.

Selain pemain-pemain yang sudah beroperasi, kini terdengar santer sejumlah hypermarket asing juga siap masuk. Antara lain raksasa hypermarket asal Inggris, Tesco dan juga Bigzy.

Antusiasme dan agresivitas para pemain hypermarket tentu didorong oleh potensi pasar di Indonesia yang memang amat besar. Dengan jumlah penduduk sebesar 220 juta dan kenyataan pasar tradisional yang masih dominan (73%), menunjukkan bahwa peluang ritel modern terbuka lebar, termasuk buat hypermarket tentunya.

Belum lagi melihat kenyataan perputaran uang di bisnis ritel yang memang luar biasa besar. Tahun 2004, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menghitung, market size pasar ritel senilai Rp 330 triliun, meningkat dari tahun 2003 (Rp 300 triliun). Biro riset AC Nielsen juga menunjukkan, tren belanja di ritel modern memang semakin meningkat. Nilai penjualan tiap tahun meningkat hingga tiga kali lipat. Jika tahun 2002 cuma 12% konsumen yang belanja di gerai ritel modern, tahun 2003 meningkat menjadi 38%.

Data Aprindo tersebut paralel dengan hasil temuan AC Nielsen. Lebih lanjut Farquar Sterling, Direktur Pengelola AC Nielsen Asia Tenggara, menjelaskan pertumbuhan ritel hypermarket paling tinggi dibanding jenis ritel lain di Indonesia, mencapai 15%. Angka ini sama dengan pertumbuhan minimarket. Sementara supermarket adalah ritel modern yang pertumbuhannya paling kecil, hanya 7%. Yang paling menderita pasar tradisional, karena justru turun 8,1%. Jadi, secara tak langsung bisa dikatakan hypermarket telah menggerogoti potensi yang seharusnya dimakan supermarket dan pasar tradisional (wet market).

Sterling yang pernah menjabat Direktur Pengelola AC Nielsen Indonesia itu juga menjelaskan, kenaikan hypermarket khususnya karena didukung pertumbuhan konsumen urban berpendapatan Rp 1,25-1,8 juta. “Tahun 2004 persentase kelompok ini mencapai 27%. Konsumen kelas ini jumlahnya mencapai 22 juta orang,” ujar Sterling pada presentasi bertajuk Consumer Spending Power, Oktober 2004.

Data meningkatnya peran ritel modern khususnya hypermarket, juga ditunjukkan Handaka Santoso, Ketua Umum Aprindo yang juga Dirut PT Panen Lestari (Sogo). Saat ini pangsa pasar yang dikuasai ritel modern di Indonesia senilai Rp 35 triliun. “Ini hanya untuk total omset ritel modern dari para peritel yang menjadi anggota Aprindo,” Handaka menegaskan. Yang jelas dari tahun ke tahun kontribusi atau peran hypermarket memang makin besar. “Saat ini pangsa pasar hypermarket dari seluruh ritel modern sekitar 20%-25%,” tambah Handaka.

Sebenarnya bila ingin gampang melihat bagaimana pengaruh hypermarket terhadap bisnis ritel dan juga perilaku konsumsi bisa dilihat dari keberadaan Carrefour sendiri. Masih menurut AC Nielsen, Carrefour kini sudah menjadi peritel pemberi kontribusi terbesar pada penjualan produk-produk konsumsi yang tergolong fast moving consumer good (FMCG). Artinya, Carrefour juga mengalahkan jaringan ritel Grup Salim (Superindo dan Indomaret), padahal jumlah ritel minimarket Grup Salim mencapai ribuan gerai, serta dikenal punya kedekatan dengan sumber pasokan (Indomarco dan Grup Indofood). Dengan demikian, Carrefour sudah membuktikan kehebatannya sebagai representasi dari gelombang besar kehadiran hypermarket.

Pengamat ritel Syamsul Munir melihat, hypermarket berkembang pesat di Indonesia karena mampu menawarkan harga paling rendah, produk selalu fresh (perputarannya cepat), area belanja luas dan jumlah produknya lengkap. “Pendeknya mereka bisa mewujudkan konsep sell everything,” katanya. Menurut Syamsul, hypermarket disambut bagus di Indonesia sebab formatnya cocok dengan karakter konsumen di Indonesia yang menjadikan belanja sebagai bagian dari rekreasi. “Ingat, sebagian besar konsumen di Indonesia merupakan weekly buyer,” tutur Syamsul.

Sementara itu, praktisi distribusi Djoko Tata Ibrahim mengamati pesatnya perkembangan hypermarket disebabkan tuntutan zaman. Masyarakatnya semakin maju, sistem ekonomi makin terbuka, dan pendapatan masyarakat meningkat. “Konsumen butuh kenikmatan untuk memilih,” Djoko yang juga Presdir PT Intermas Tata Trading menjelaskan. Malahan Djoko mengamati sebenarnya perkembangan hypermarket di Indonesia terbilang terlambat 20 tahun. Di negara maju itu merupakan fenomena lama. Tentu hal ini tak lepas dari kondisi sosial ekonomi yang baru sekarang siap untuk pengembangan hypermarket.

Perkembangan hypermarket sebenarnya juga seiring maraknya segmentasi pasar. Kini, hampir semua produk di-leverage ke dalam banyak segmen. Contohnya produk sampo, sekarang ada sampo bayi, remaja dan dewasa. Belum lagi berdasarkan fungsinya, ada yang menonjolkan kandungan vitamin, antiketombe, penghitam, hingga ke produk vitalitas. Hampir semua produk mengalami segmentasi. Otomatis hal itu butuh pola merchandising yang baik dan tertata.

“Pasar tradisional tak menampung aspirasi ini sebab lokasinya terbatas. Hypermarket paling cocok,” lanjut Djoko. Dari sini bisa dimengerti kalau sebagian besar hypermarket di Indonesia laris manis diserbu pembeli. Djoko benar, apalagi kenyataannya di Indonesia hypermarket bisa berdiri di tengah kota sehingga memudahkan jarak berbelanja. Meski sebenarnya hal ini merugikan pedagang kecil sekelas papa-mama shop. Ini dimungkinkan terjadi di Indonesia sebab belum ada ketentuan yang mengatur. “Negeri ini soft country. Indonesia yang sebesar ini belum punya UU ritel,” ujar Syamsul.

Sudah pasti, sukses penetrasi hypermarket keseluruhan telah menempatkan jenis ritel ini sebagai mesin uang dahsyat yang baru. Omset penjualan yang mereka raih cukup mencengangkan. Tak terlalu sulit menghitung omset mereka, terutama dengan melihat dari jumlah transaksinya. Seorang mantan eksekutif hypermarket menjelaskan, di gerai sebesar Carrefour, Giant atau Hypermart, tiap hari paling tidak terjadi 2.500-3.000 transaksi.

Bila dirata-rata nilai per transaksi Rp 300 ribu (dengan perkiraan harga-harga barang kebutuhan saat ini), penjualan per hari Rp 750-900 juta. Malahan bukan rumor lagi bahwa beberapa gerai Carrefour bisa meraih omset Rp 1 miliar per hari. “Pada masa peak season memang bisa mencapai Rp 1 miliar per outlet,” ujar Handaka yang juga praktisi ritel itu menghitung. Yang dimaksud peak season antara lain saat weekend dan hari-hari besar. Dari sini bisa dihitung berapa omset tahunan Carrefour yang punya 15 gerai itu.

Umumnya, masing-masing hypermarket memang punya gerai andalan yang omsetnya paling besar. Carrefour sebut saja, mesin uangnya yang paling besar berproduksi adalah gerai Lebak Bulus (Jakarta Selatan) dan Cempaka Mas, sementara Carrefour Duta Merlin cenderung biasa-biasa saja. Adapun Giant, gerai yang ada di deretan kawasan industri Jl. Raya Bogor (Cimanggis) selalu diwarnai antrean panjang di kasir.

Bagi para pemasok, hypermarket memang memberi daya tarik tersendiri karena beberapa keunggulan yang ditawarkan. Hal ini juga diakui Nani Samawathy, Manajer Merek PT Cahya Sakti Multiintrako (CSM) — pemasar furnitur merek Olympic. Selain melihat tren perubahan pola belanja dari tradisional ke modern market, CSM tertarik memasarkan produknya di hypermarket karena ada aspek promosinya. “Kami bisa melakukan displai produk sehingga harapannya bisa muncul impulse buying,” ujar Nani.

Alasan lain, sebagai pemimpin pasar, Olympic ingin menanamkan kebiasaan baru berbelanja furnitur. Jika biasanya orang belanja furnitur hanya di toko furnitur, CSM bermaksud membuat kebiasaan baru supaya orang belanja furnitur di hypermarket. Tak heranlah, produk Olympic (dan Olimpia) dipasarkan pula di berbagai hypermarket: Carrefour, Giant, Alfa, Makro dan Hypermart. Walau begitu, “Penjualan Olympic di hypermarket belum mencapai 20%,” ujar Nani sembari menyebut target penjualan CSM tahun ini sebesar Rp 1 triliun.

Tentu saja tak hanya Nani yang punya alasan kuat memasok hypermarket. Banyak pemasok melihat, menjual di hypermarket memungkinkan meraih omset dalam jumlah besar (miliaran) hanya melalui beberapa gerai yang mudah dikontrol. Hal ini dimungkinkan karena rata-rata gerai hypermarket Indonesia punya luas 5 ribu m2 — sesuai konsep aslinya, hypermarket punya format area penjualan 4-10 ribu m2.

Selain itu, bagi pemasok, bisa menjual produknya di hypermarket juga menjadi gengsi tersendiri karena berarti produknya diakui peritel modern. Mendisplai produk di hyppermarket juga bisa dilihat sebagai promosi below the line, serta sederet alasan lain. Namun dengan berbagai pertimbangan itu pula, di lain sisi, para pengelola hypermarket bisa melakukan banyak hal yang mereka rasa menguntungkan tapi tak enak buat pemasok.

Misalnya, karena merasa mampu menyerap produk dalam jumlah besar, mereka tak mau lagi membeli produk melalui perantara (distributor), tapi bila dimungkinkan akan deal langsung dengan menghubungi produsen. Para produsen tentu saja banyak yang tak bisa mengelak dengan tawaran seperti itu, sebab melihat potensi penjualan berjumlah besar. Di P&G Indonesia (PGI), sebut saja, seperti dikatakan Bambang Sumaryanto, Direktur PGI, juga menjual langsung beberapa produknya ke hypermarket selain melalui beberapa distributor, terutama produk Pampers Premium, Olay dan Shampoo kemasan botol.

Yang jelas, cara ini menjadi momok bagi para distributor independen karena fungsi mediasi yang merupakan sumber bisnisnya tiba-tiba dipotong hypermarket. Pada gilirannya pola bypass yang dilakukan para pengelola hypermarket berpengaruh pada keorganisasian produsen, karena kini ada tren baru di mana produsen membentuk divisi khusus yang menangani hypermarket dan biasanya ditangani seorang manajer tersendiri. Hampir semua perusahaan elektronik seperti Sanken, Samsung, Cosmos, Sony, melakukan hal yang sama, mengangkat manajer penjualan hypermarket.

Tak bisa dihindari, kuatnya posisi tawar-menawar pengelola hypermarket juga menyebabkan mereka sangat percaya diri terhadap para pemasok. Tak heranlah, mereka berani menekan para pemasok, terutama soal harga. Tujuannya jelas, pengelola hypermarket ingin mendapatkan harga seminimal mungkin agar bisa menelurkan harga jual yang rendah sehingga mudah berkompetisi dengan peritel lain.

Perlu dicatat, pola tekan-menekan pemasok oleh pengelola hypermarket ini bukan isapan jempol. Alasan klasiknya karena mereka bisa menjual dalam jumlah besar dan basis pelanggannya banyak. Seorang pengusaha muda, pemasok produk house brand Carrefour kategori makanan kering mengeluh saat ditemui SWA di sebuah seminar. “Terus terang, margin kami amat tipis karena harga kami ditekan. Tapi kami tetap suplai karena ordernya banyak sehingga tenaga kerja kami tetap ada kegiatan. Kami hitung sebagai promosi saja. Kalau dari keuntungan sebenarnya kecil banget,” keluhnya.

Dalam hal ini para pengelola hypermarket memang cukup cerdik. Harga yang ditawarkan antarpemasok sering diadu sehingga pemasok yang betul-betul ingin menjadi pemasok harus memberikan harga pada batas terbawah. Seperti dikatakan Djoko, kini timbul kekhawatiran di antara para produsen dengan makin kuatnya hypermarket. “Karena bisa beli dalam jumlah besar, mereka bisa menekan harga beli serendah mungkin sehingga bisa mengubah struktur kebijakan harga secara nasional,” ujar Djoko.

Posisi powerful kalangan hypermarket juga tampak dari keberaniannya menarik berbagai biaya (fee) ke para pemasok. Jika dulu hanya untuk keperluan produk-produk promo yang harus membayar, sekarang apa saja harus bayar. “Hypermarket meminta berbagai fee yang menjadi another income buat mereka. Ada yang disebut listing fee, opening fee, fix rebate, commond assortment fee dan fee untuk ulang tahun, dan entah apalagi,? seorang pengusaha pemasok alat-alat rumah tangga ke sejumlah hypermarket mengeluhkan.

Diakuinya, memang semua fee disebutkan dalam perjanjian awal dan ada proses negosiasi. “Namun terkadang negosiasinya bukan seperti negosiasi, tapi ada bahasa-bahasa yang kesannya pemaksaan tak langsung,” lanjut pengusaha peralatan rumah tangga itu. Sehingga, pada akhirnya pihak pemasok menyetujui dengan rasa terpaksa. ?Kalau tidak begitu, pemasok tidak bisa berjualan. Ini hampir semua pemasok merasakan,” kata pengusaha perabot yang ikut dalam seminar tersebut.

Susanto, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI) menunjuk contoh sebuah hypermarket asing yang baru saja buka gerai di Surabaya. Ketika itu semua pemasok, termasuk pemasok lama diwajibkan bayar opening fee, per item produk Rp 3 juta. Kalau anggota AP3MI saja (300 orang) yang bayar opening fee, berarti hypermarket itu sudah mengantongi Rp 900 juta. Belum lagi dari pemasok lain nonanggota AP3MI. “Ini sangat memberatkan dan tidak adil,” ujar Susanto, yang melihat praktik seperti ini terutama dilakukan hypermarket asing karena pemain lokal lebih bijaksana.

Dengan alasan itu pula, sebuah perusahaan sosis terkemuka tak mau memasok ke hypermarket asing tersebut. Ketika itu manajemen perusahaan sosis ini sempat ingin menjadi pemasok, tapi dikenakan berbagai fee yang total berjumlah Rp 35 juta untuk tiga bulan. “Nanti kalau dalam tiga bulan produk kami tak laku sesuai target, produk kami di-delete, tak boleh dijual di outlet itu lagi. Sedangkan biaya Rp 35 juta tak bisa diminta lagi. Makanya kami lebih baik tak mau masuk,” tutur manajer penjualan perusahaan sosis itu.

Celakanya lagi, setelah membayar ini-itu para pemasok masih ?dikerjain? hypermaket dalam pemanfaatan SDM. Seharusnya urusan penataan produk di rak-rak dan space menjadi tanggung jawab hypermarket, apalagi pihak pemasok ditarik biaya macam-macam. Kenyataannya, pengelola hypermarket masih sering menyuruh merchandiser pemasok untuk menata dan merapikan barang dagangan di rak. Otomatis pihak pemasok rugi karena tenaga merchandiser yang seharusnya bisa memasok di banyak gerai sering kehabisan waktu. “Semula kami kira hanya kami yang ?dikerjain?. Setelah ngobrol dengan pemasok lain, ternyata diperlakukan sama,” ujar serorang GM perusahaan minuman terkemuka sembari menjelaskan hypermarket yang dimaksud ialah Carrefour.

Yang pasti, karena posisi bargaining-nya bagus, hypermarket sering pula mengulur-ulur pembayaran ke pemasok. Menarik menceritakan pengalaman manajemen Roti Buana yang sejak akhir tahun lalu tak lagi memasok ke hypermarket — padahal sebelumnya Roti Buana lama dipasarkan di berbagai hypermarket. “Term of payment-nya terlalu panjang,” alasan Ardi Buono, Manajer Operasional Nasional PT Candrabuana Suryasemesta –produsen Roti Buana.

Hal ini menjadi pertimbangan Roti Buana karena bahan baku bakery seperti tepung dan gula harus dibayar kontan kepada pemasok. Otomatis pembayaran dari hypermarket mestinya paling lama sebulan. Menurutnya, kalau masuk ke hypermarket pembayaran paling cepat 1,5 bulan sejak barang dipasok. Bahkan sering 2-3 bulan. Hal senada dikemukakan Nani dari Olympic, ?Term of payment hypermarket umumnya memang lelet. Biasanya di atas 45 hari.”

Nani menambahkan, pihaknya juga sering dirugikan bila ada perang harga antar-hypermarket. Dicontohkan Nani, bila hypermarket A menjual Olympic lebih murah dibanding harga di hypermarket B, maka hypermarket B akan menuduh pihak Olympic berlaku tidak fair. Dengan begitu biasanya hypermarket B langsung melakukan perubahan sehingga harga jual Olympic di hypermarket B sama dengan pesaingnya. “Restraksi inilah yang merugikan. Dan kami tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap Nani kesal.

Kendati hypermarket banyak dikeluhkan, kenyataannya pemasok tetap tak mau meninggalkan begitu saja. “Dilema benci tapi rindu. Karena simbiosis mutualismenya juga ada, makin banyak gerainya, bisa menjangkau lebih banyak konsumen. Di lain pihak, biaya yang tersedot ke sana besar sekali,” papar Djoko. Bagaimanapun kini sebagai sebuah gerai, hypermarket merupakan marketplace yang dahsyat. Apalagi belakangan pada masa peak season sejumlah gerai hypermarket buka 24 jam. Di belakangnya rata-rata didukung tim pemasaran yang kuat.

Sekarang, hampir semua pengelola hypermarket telah mengeluarkan membership berupa kartu belanja. Makro, Club Store, Carrefour dan Alfa melakukannya. Malah, mereka juga percaya diri menarik iuran tahunan (annual fee) kepada anggota — Rp 25-60 ribu. Selain itu, kartu belanja yang mereka terbitkan bisa multifungsi. Misalnya Kartu Belanja Carrefour tidak sekadar sebagai kartu kredit yang bisa digunakan untuk berbelanja di 15 juta merchant di Indonesia dan luar negeri, melainkan bisa pula untuk menarik uang tunai di 200 ribu ATM, serta untuk kredit berjangka dan kredit cicilan.

Tentu saja, keberadaan kartu belanja ini di kalangan hypermarket akan lebih mudah ketika meluncurkan program khusus seperti program diskon atau trade-in karena segmen yang akan mereka bidik lebih jelas. Apalagi kenyataanya mereka berhasil meyakinkan para pelanggan, buktinya jumlah anggota tak bisa dibilang sedikit. Club Store sudah punya 60 ribu anggota. Sementara Makro dan Carrefour, basis anggotanya telah mencapai 600 ribu. Keberadaan kartu belanja ini jelas merupakan bagian dari cara mereka mengikat pelanggan agar makin loyal dan meningkatkan jumlah (nilai) pembelian. Jadi, merupakan cara cerdas meretensi pelanggan selain juga mengintensifikasi pemasaran.

Untuk memaksimalkan profit, pengelola hypermarket makin rajin pula mengembangkan house brand — produk yang diberi nama merek sesuai pesanan hypermarket, tapi bahan baku dan pabrikasinya dilakukan mitranya (tol manufacturing). Terutama untuk produk-produk yang permintaannya terbilang cepat seperti gula pasir, tisu, beras, dan sebagainya. Belakangan produk-produk peranti pertukangan pun mulai dibuat house brand.

Dalam hal ini masing-masing hypermarket memberi nama house brand berbeda-beda. Alfa tetap menamai produk-produk house brand-nya dengan nama Alfa. Sementara Carrefour punya BLUEsky dan Firstline, Hypermart memakai nama Value Plus, dan The Club Store menggunakan nama Club Pack. Makro paling banyak memiliki house brand, antara lain Aro, Savepack, Highstyle, Protect, Q-Biz, dan Tool Master. Dengan pola house brand, berarti hypermarket memotong biaya branding (promosi) yang sebelumnya dikeluarkan pemasok pemilik merek, dan persentase itu kemudian dikonversi menjadi tambahan profit buat hypermarket.

Bila disimak, mereka juga tak hanya jago dagang tapi juga pintar negosiasi dan punya trik-trik memobilisasi konsumen. Sebut saja dalam mempromosikan produk. Sering kali ada sejumlah produk yang dijual dengan harga menarik dipromosikan gencar di berbagai media, padahal jumlah barangnya terbatas.

Padahal sebenarnya produk tersebut hanya diposisikan sebagai gimmick agar pembeli datang ke gerai sehingga timbul impulse buying (pembelian yang tak direncana pembeli dari rumah). Selain itu dalam banyak item produk, hypermarket sengaja mengambil profit 0% agar dipersepsi sebagai gerai murah padahal di lain item ia juga meninggikan profitnya. Jadi ada pola subsidi silang.

Masih soal promosi, umumnya mereka menggandeng kalangan pemasok untuk promosi bersama dengan joint financing, sehingga mengurangi biaya yang harus dikeluarkan hypermarket. Kini, hampir semua ritel besar menjalankan strategi promosi yang mirip, mulai dari harga murah, undian, katalog dan iklan media. “Saya lihat persaingannya hingga saat ini tetap sehat, dan kesamaan strategi tersebut juga menunjukkan adanya kebijakan para pemasok yang berlaku hampir sama pada tiap ritel,” ujar Rullyanto Lukman, Presdir PT Alfa Retailindo — pengelola compact hypermarket Alfa.

Dari sisi besaran dana promosi, sejauh ini Carrefour memang paling agresif. Menurut data Nielsen Media Research, belanja iklan Carrefour mencapai Rp 36 miliar tahun 2003, dan sudah Rp 58 miliar hingga Oktober 2004. Sementara Alfa dan Giant belanja iklan tahunannya masih berkisar Rp 6-7 miliar.

Sementara itu Syamsul memprediksi, kemungkinan format ritel yang akan berkembang di masa mendatang cuma tiga jenis, yakni: hypermarket, specialty store dan minimarket. “Pemain yang tidak ikut pertempur dalam format ritel ini akan ketinggalan,” katanya menduga. Maka, ia mengingatkan bila Pasaraya dan Ramayana terlalu kaku dengan konsep lama akan ditinggal konsumen.

Dalam pandangan yang lebih ekstrem, Djoko melihat mungkin saja ke depan kondisi Indonesia mirip dengan Australia, 90% pasar ritel dikuasai hypermarket. Itu pun yang dominan hanya 3-4 pemain besar seperti Wal World, Cools, Pick & Pay (bahkan ini sudah diakuisisi Cools). Toko modern lain yang berkembang justru convenience store seperti 7 Eleven dan Circle K yang buka 24 jam.

Tentu Djoko — dan kita — tak berharap itu semua menjadi kenyataan karena harapannya antara berbagai ritel memiliki kontribusi yang seimbang, walaupun kenyataannya kini hypermarket sudah menjelma menjadi mesin uang baru yang dahsyat.
By : Bang Udin
----------------------------------------------------------------------------------
Gunakan ----{ CTRL + F }---- Untuk Mencari Artikel
----------------------------------------------------------------------------------
Postingan Baru :
TERIMAKASIH SUDAH BERKOMENTAR

Read More...

Hypermarket, Raksasa-raksasa yang Kian Perkasa


 ----------------------------------------------------------------------------------
Carrefour, Giant, Makro, Hypermart, The Club Store, Alfa dan Indo Grosir. Rasanya, nama-nama ini tak lagi asing di telinga Anda ? bahkan mungkin Anda secara rutin mengunjunginya sebulan atau seminggu sekali. Sekurang-kurangnya pasti Anda pernah melintas di dekat gerai mereka di berbagai kawasan yang sedikitnya telah mencapai 56 unit.

Meriahnya sambutan konsumen tercermin dari kemacetan di sekitar toko-toko ini akibat antrean mobil yang keluar-masuk ke sana. Pada jam-jam tertentu, lebih-lebih di hari libur, mencari ruang parkir di toko grosir seperti Carrefour, misalnya, membutuhkan perjuangan tersendiri. Antusiasnya konsumen semakin tegas tergambar dari antrean konsumen di depan kasir yang mengular bisa hingga 15 orang ke belakang. Padahal, rata-rata toko umumnya mempunyai 20-30 kasir yang mampu melayani dengan sangat cekatan.

Luar biasa. Padahal, hingga sekitar satu dekade lalu, konsep hypermarket belum akrab di tengah masyarakat Indonesia. Kita memang sudah mengenal toko grosir, tetapi skala perusahaannya masih kecil-kecilan, semisal toko Babah Liong atau Wan Abud di ujung gang sana. Dan yang biasa berbelanja di toko seperti ini adalah para pedagang eceran. Ketika Makro mulai beroperasi pada 1992, masyarakat tak serta-merta menyerbu toko grosir asal Belanda ini. Letaknya yang jauh di pinggiran kota, hanya menjual dalam partai besar, dan pembeli pun harus menjadi anggota ? dengan membayar iuran yang lumayan besar ? membuat orang enggan belanja di sana.

Situasi berbalik ketika Carrefour hadir pada 1998. Berawal dari pinggir kota, dengan cepat Carrefour merangsek ke tengah kota: Kuningan, Cempaka Putih, Senayan, Mangga Dua, dan sebagainya. Apalagi sejak beberapa waktu sebelumnya, atas nama persaingan bebas, ketentuan yang mengatur toko grosir harus berlokasi di pinggiran kota menjadi mandul. Toko-toko grosir masuk kota, berhadapan dengan supermarket dan toko kelontong. Bila semula yang boleh belanja di toko grosir hanya para anggota ? yaitu toko kelontong, koperasi, dan sejenisnya ? belakangan aturan ini juga tak bergigi. Giant (Grup Hero) yang hadir sejak 2002 dan Hypermart (Grup Matahari/Lippo) yang hadir sejak 2004 tak menerapkan sistem ini.

Dengan cepat Carrefour melaju dan terus menambah gerainya di berbagai lokasi, mengepung Jabotabek. Apalagi setelah ia mengakuisisi mitra tandingnya, Continent, juga raksasa ritel asal Prancis. Kini Carrefour telah memiliki 15 gerai ? 11 di Jabotabek dan masing-masing satu di Bandung, Surabaya, Medan, dan Palembang. Dalam waktu dekat Carrefour juga akan membuka sekitar 7-10 gerai lagi sehingga kian menegaskan posisinya di puncak piramida hypermarket di Indonesia (dan Cina, dengan 53 toko plus 10 toko lagi yang akan dibuka pada 2005).

Makro pun kini telah memiliki 15 gerai di Jabotabek, Semarang, Sidoarjo, Denpasar, Makassar, Palembang dan Pekanbaru. Sementara Hero ? yang gerai supermarket-nya terus dipepet hypermarket ? sejak 2002 meluncurkan Giant, bergandengan dengan Dairy Farm (Malaysia). Grup Matahari/Lippo yang pernah gagal dengan M-Store-nya, sejak tahun ini kembali ke gelanggang dengan bendera Hypermart. Kini wajah baru tapi lama ini telah memiliki tiga gerai di Karawaci, Serpong dan Tangerang, serta siap membuka 10 gerai lagi pada 2005.

Pertumbuhan hypermarket yang fenomenal (15% per tahun) menjadikan pertumbuhan supermarket tertinggal jauh (6% per tahun). Padahal, menurut Handaka Santosa, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, investasi yang dibutuhkan untuk satu gerai (kurang-lebih 5 ribu m2) rata-rata mencapai Rp 30-50 miliar. Ini baru untuk bangunan fisik, belum biaya SDM dan biaya umum lainnya, serta biaya promosi dan pemasaran yang bisa mencapai Rp 10-20 miliar di tahun pertama.

Ada banyak alasan mengapa hypermarket begitu memukau dan menyedot konsumen berdatangan. Selain tempatnya nyaman (sejuk, bersih dan luas), lokasinya strategis (kini banyak di tengah kota), harga yang diberikan pun sangat bersaing. Tak kalah penting: pilihan produknya begitu banyak. Carrefour, misalnya, menyediakan sekitar 37 ribu item produk, sementara Hypermart 30 ribu, Makro 10 ribu, dan Giant bahkan hingga 50 ribu item. Di hypermarket kita bisa mendapatkan mulai dari keperluan dapur hingga furnitur, kebutuhan rumah tangga hingga perlengkapan kantor, produk fashion ataupun barang-barang elektronik. Selain tempat berbelanja, rata-rata gerai juga membuka pusat jajan dan kafe yang membuat konsumen betah berlama-lama di sana. Benar-benar one stop shopping. Waktu operasionalnya juga panjang, hingga pukul 22.00 ? bahkan sesekali, biasanya menjelang Lebaran dan Tahun Baru, mereka buka hingga 24 jam. Masih ada lagi: beberapa hypermarket juga membuka layanan antar (delivery service) sehingga konsumen benar-benar menjadi raja.

Sementara konsumen bergembira menyambutnya, tak sedikit pula pihak yang gerah dengan maraknya toko grosir. Pasalnya, kehadirannya menciptakan ?tata niaga? tersendiri yang memakan banyak mangsa. Supermarket yang kini berdiri di lokasi berdekatan digoyang hingga pertumbuhannya menukik tinggal 6%. Pemasok dan produsen ? khususnya yang berskala kecil ? menjerit karena dengan kekuatan jaringan yang dimilikinya hypermarket mendikte harga dan tempo pembayaran. Distributor pun gigit jari karena hypermarket umumnya langsung membeli produk ke produsen. Sementara itu, omset toko kelontong yang mengambil barang dari distributor terus terjun bebas karena digerogoti toko grosir.

Namun ?pelanduk? yang paling menderita adalah pasar tradisional. Ketika gajah bertarung sama gajah, pasar tradisionallah yang mati di tengah-tengah. Tempat ini memang tak lagi mampu memberikan keunggulan kompetitif. Selain becek dan bau, waktu operasionalnya pun terbatas. Mustahil seorang wanita karier mencuri waktu pada jam kantor untuk ke pasar becek. Mereka jelas akan memilih hypermarket ataupun supermarket, yang masih buka selepas kantor.

Alhasil, meski kehadirannya sangat menyenangkan konsumen, sepak terjang hypermarket tetap patut dicermati. Harus ada kebijakan yang menentukan aturan main agar pelaku bisnis ritel lain ? baik supermarket, minimarket, maupun pasar tradisional ? bisa hidup berdampingan. Juga, harus dijaga agar hubungan grosir-pemasok jangan berat sebelah: grosir makin digdaya sementara pemasok kian nelangsa. ?Perlu ada undang-undang yang paling tidak mengatur empat poin: zonasi, harga, jam buka, dan permodalan,? kata pengamat ritel Syamsul Munir. Kebijakan seperti ini sebenarnya pernah diterapkan, tetapi seiring dengan semboyan pasar terbuka kini sepertinya terlupakan. ?Kita masih memerlukannya,? lanjut Syamsul. Bahkan, Thailand pun memiliki Undang-undang Perdagangan Eceran (Retail Act) untuk melindungi pedagang kecil dan produsen.

Harus disadari, bagaimanapun tren ke arah maraknya toko grosir akan terus berlangsung, seperti terlihat baik di negara maju maupun negara berkembang lain (Korea, Thailand, Cina, Malaysia, dan lainnya). Namun kita juga perlu menciptakan iklim bisnis yang sehat, yang mampu melindungi si lemah dan mendorong berkembangnya pemain lokal.

By : Bang Udin
----------------------------------------------------------------------------------
Gunakan ----{ CTRL + F }---- Untuk Mencari Artikel
----------------------------------------------------------------------------------
Postingan Baru :
TERIMAKASIH SUDAH BERKOMENTAR

Read More...

Persaingan Hypermarket: Dari Potong Harga hingga Kartu Belanja


 ----------------------------------------------------------------------------------
Kamis dan Jumat adalah jadwal tetap hypermarket memajang produk murahnya di tabloid dan koran. Dua hari menjelang akhir pekan itu biasanya dimanfaatkan untuk menawarkan barang yang dijual dengan harga bersaing dalam periode tertentu (tiga hari) — Carrefour menyebutnya Action Spot, promosi dengan harga sangat murah untuk produk tertentu dan pada periode tertentu pula.. Apa saja hajaar, asal memikat pengunjung; dari daging giling, ayam potong, bawang merah, durian monthong hingga televisi ataupun DVD.

Promosi memang hanya menawarkan selisih harga relatif kecil, ribuan rupiah atau bahkan tak lebih dari Rp 1.000. Contohnya, Giant menawarkan PediaSure Complete 900 gr seharga Rp 130.000; sementara pada saat yang sama, Carrefour menawarkannya dengan harga Rp 129.000. Atau di salah satub gerai hypermarket, durian monthong ditawarkan Rp 1.200/ons, dan gerai hypermarket lain menawarkan Rp 1.100/ons; berarti hanya selisih Rp 100/ons. Namun, jangan anggap enteng upaya itu . Untuk memberikan harga tersebut, hypermarket harus memeras otak, tengok kanan-kiri (pesaing), dan bahkan kalau perlu jual rugi, demi konsumen mau berbelanja ke hypermarket-nya. Belum lagi menyangkut biaya yang dihabiskan. Menurut Donny Prianto, Direktur Pengelola Avicom yang menangani Carrefour, setidaknya kliennya menghabiskan dana lebih dari Rp 1 miliar/bulan untuk biaya promosi.

Hypermarket tidak akan membiarkan pengunjungnya lolos begitu saja, apalagi gara-gara harga . Dengan makin tumbuhnya hypermarket saat ini, tingkat persaingannya pun makin menggila. Seorang pengamat eceran berkomentar, hypermarket saat ini seperti terserang paranoid. Mereka takut betul jika pesaing memberikan harga lebih murah darinya. Simon Collin, Presiden |Direktur Wholesaler Makro mengaku, setiap Kamis pagi, ia rela memelototi daftar harga ratusan item produk di berbagai hypermarket guna memantau dan mempertahankan posisi Makro sebagai wholesaler yang men-deliver harga murah. Majalah Mix pernah melihat, di meja kerjanya, Simon menggelar kertas print out besar berisi rincian harga ratusan item produk di gerai-gerainya dibandingkan dengan harga peritel lain. Dia harus memastikan, tidak satu pun item produk yang dijual Makro lebih mahal dibanding pesaingnya.

Simon mengklaim, Makro saat ini memberikan harga terbagus buat konsumen. Pasalnya, biaya operasional Makro jauh lebih rendah dibanding pemain lainnya. Sebut saja, dalam hal tenaga kerja. Jika hypermarket lain membutuhkan lebih dari 400 orang per gerai, Makro hanya butuh 100 orang. Selain itu, bangunan toko Makro juga tidak sebagus dan semewah hypermarket lain. ?Bahkan, toko-toko yang berada di luar Jawa tidak menggunakan AC dan memanfaatkan sinar matahari sebagai penerangan di waktu siang,? paparnya.

Makro juga tidak memberikan kantong plastik cuma-cuma kepada pelanggannya. Penggunaan kartu kredit dikenakan charge. ?Di bisnis eceran, setiap rupiah yang dikeluarkan peritel adalah tanggungan pelanggannya,? ungkap Simon. Menurutnya, Makro sangat diuntungkan karena membeli produk dalam jumlah besar, sehingga memiliki posisi tawar sangat kuat. ?Kami adalah pelanggan terbesar bagi Unilever, Nestle, P & G, dan perusahaan besar lainnya lagi,? ujarnya bangga.

PT Alfa Retailindo tak mau kalah soal harga murah. Gerai yang disebut sebagai gudang rabat ini mati-matian mendapatkan harga yang kompetitif demi mempertahankan kredibilitas dan positioningnya sebagai toko yang selalu memberikan harga diskon. ?Ini dilakukan untuk menumbuhkan persepsi konsumen bahwa Alfa adalah toko gudang rabat. Jadi, harga harus menjadi sebuah persepsi yang kuat di benak konsumen,? kata Eddy Supardi, Direktur Pengelola PT Alfa Retailindo Tbk. di sela-sela seminar ritel beberapa waktu lalu.

Kepada SWA, Rullyanto Lukman, Presdir PT Alfa Retailindo Tbk., mengatakan, tidak tertutup kemungkinan pihaknya mengutip margin 0%. ?Bila sedang promosi ada beberapa produk yang dijual di bawah harga beli supaya menarik konsumen,? ujarnya. Ia memperkirakan sekitar 50 item produk dijual dengan harga sangat murah setiap bulan.

Seperti halnya Makro, Alfa juga memonitor dengan ketat harga-harga yang dipatok pesaing. ?Kami survei ke gerai-gerai lain. Ada harga yang kemahalan, ada juga yang lebih rendah. Lalu, harga tersebut kami adjust,? papar Rully. Yang pasti, dalam menentukan harga, perusahaan ini menetapkan 200 item produk — terutama barang-barang kebutuhan pokok rumah tangga, seperti susu, gula dan minyak goreng — sebagai sensitive product yang kebijakan harganya harus diambil kantor pusat dan harganya seragam di semua gerai. ?Ke 200 item produk ini harganya harus benar-benar kompetitif,? cerita Eddy dalam seminar.

Beruntunglah, berbagai upaya yang dilakukan Alfa ini diterima positif oleh pasar. Setidaknya terlihat dari temuan survei ACNielsen tentang tren belanja kebutuhan barang fast moving consumer goods di kota besar di 12 negara Asia Pasifik tahun lalu. Survei yang melibatkan 1.019 responden Indonesia menganggap Carrefour, Alfa dan Indomaret sebagai tempat belanja paling murah di mata responden. Yongky Surya Susilo, Direktur Pengembangan Peritel dan bisnis ACNielsen, mengungkapkan bahwa temuan tersebut diketahui dari tingginya persentase kebiasaan belanja responden yang termasuk kriteria impuls shopping, yakni sekitar 85%, yang berarti , ketiga ritel ini berhasil memikat pengunjung dengan tawaran harga murah.

Sejak masuk Indonesia pertama kali bulan Oktober 1998, Carrefour sudah menantang dengan konsep harga murah dan promosi yang efektif. Manajemen Carrefour dalam berbagai kesempatan selalu mengatakan, kunci sukses Carrefour menembus pasar Indonesia adalah karena menawarkan harga bersaing, pilihan yang lengkap, kualitas yang baik dan layanan yang memuaskan.

Khusus soal harga murah, strategi yang ditempuh Carrefour sebenarnya tak jauh berbeda dari hypermarket lain, yakni membeli langsung ke produsen, membeli barang dalam jumlah besar, tidak mengambil margin tinggi dan tidak menerapkan sistem konsinyasi. Namun, posisinya yang ada di atas saat ini membuat beberapa langkah Carrefour — sesungguhnya juga dilakukan pemain lain — mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, terutama dalam hubungannya dengan pemasok. ?Carrefour termasuk hypermarket yang kaku dan banyak menekan terhadap supplier,? komentar seorang manajer perusahaan distribusi consumer goods yang enggan disebut namanya.

Tidak peduli dengan suara-suara miring, Carrefour dengan mantap terus melangkah. Kini, dengan 15 gerai di lokasi-lokasi strategis — cenderung di tengah kota — Carrefour menjadi motor persaingan antar-hypermarket di Indonesia; baik soal lokasi, penataan ruangan, program loyalitas pelanggan, program promosi berhadiah, hingga soal strategi harga murah.

Menyangkut lokasi, misalnya, Carrefour sengaja bergandeng tangan dengan PT Duta Pertiwi Tbk. Kedekatan di antara dua institusi ini sebenarnya sudah berlangsung lama, yakni ketika Continent milik PT Sinar Mas Group diakuisisi Carrefour, sejak itu pula, Duta Pertiwi yang juga dari Grup Sinar Mas ada di dekatnya. Sampai sekarang, keduanya seiring sejalan: saat Duta Pertiwi membangun ITC, di situ pula Carrefour memperoleh prioritas sebagai penyewa utama — seperti yang terbaru, ITC Permata Hijau yang diikuti Carrefour Permata Hijau.

Terlepas dengan ikatan kerja sama dengan ITC, Carrefour memang terlihat cerdik mempertimbangkan area cakupan pasar yang luas. Ia selalu membuka lokasi yang dipenuhi pusat bisnis atau daerah perumahan kalangan menengah-atas. Kalau dilihat bagaimana Carrefour merangsek pasar, mulai dari Jalan MT Haryono (Jakarta Utara), lalu Kuningan, Pasar Baru, Ratu Plaza, Lebak Bulus, Permata Hijau hingga Mangga Dua, terlihat bahwa ia selalu membuat pijakan yang bertujuan mengepung Jakarta dan sekitarnya. Hal ini sekaligus merupakan cara menyingkirkan lawan-lawan yang datang belakangan.

Melihat situasi yang berkembang, hypermarket lain tampaknya memilih menjauh dari pertempuran lokasi yang memusingkan. Giant, Hypermart, Makro dan The Club Store cenderung membuat pijakan di pinggir kota, bahkan di luar Jabodetabek. Giant, umpamanya, mengembangkan gerai pertamanya justru di Surabaya dan Tangerang. Begitu pula Hypermart yang mengawalinya dari Serpong, Tangerang. Agak berbeda dari The ClubStore; berawal dari Medan (1996) langsung menembus Jakarta (SCBD), dan diikuti di Kelapa Gading dan Bali.

Ke depan, menurut Rully, Alfa ingin berkonsentrasi mengoptimalkan lokasi yang sudah ada, begitu pula Giant yang memanfaatkan lokasi-lokasi potensial milik Hero. Alasannya, mencari lokasi strategis akan semakin sulit, padahal lokasi punya peran utama. ?Apalagi mencari lokasi di kawasan Jabodetabek, susah sekali! Sudah jenuh,? ujarnya. Sehingga, Alfa berencana menggarap pasar di luar kawasan itu. Yang penting bagi Alfa, survei awal dan kriteria dasar harus terpenuhi dalam memilih lokasi. Misalnya, jumlah penduduk dari suatu perumahan mencapai 15 ribu unit, daya beli masyarakat sesuai dengan segmentasi Alfa yang membidik menengah-bawah, serta tak kalah penting, kemudahan akses jalur lalu lintas. ?Tim survei kami akan mencari lahan yang sesuai dengan target pasar kami,? tegasnya kembali.
Target pasar memang akan memengaruhi lokasi dan penataan dalam ruang belanja. Makro sengaja memilih strategi berlokasi di pinggir kota, karena sesuai target pasarnya. Lain halnya dengan Carrefour, yang selain memilih lokasi pusat bisnis dan permukiman menengah-atas, ia pun sengaja menata suasana belanja yang sesuai target pasarnya. Demi kenyamanan belanja, Carrefour menawarkan suasana belanja Eropa dengan lorong belanja yang luas hingga memudahkan kereta belanja berputar dan bergerak. Pun, jarak antara rak satu dengan rak yang lain dibuat lebih lebar sehingga memudahkan pelanggan ketika belanja. Pengaturan barang-barang menjadi prioritas penting. Carrefour mengatur penempatan barang-barang tahan lama dan barang segar sesuai dengan sirkulasi pelanggan hingga menuju kasir pembayaran.

Makro yang target pasarnya bukan end user, melainkan peritel kecil dan menengah, horeka (hotel, restoran, katering/kantin) serta perkantoran tidak memberikan prioritas penting pada penataan ruang belanja. Konsumen yang datang bukan tipe yang mencari kenyamanan belanja. Mereka datang untuk membeli dalam jumlah besar karena kebutuhan mereka juga besar. ?Yang terpenting bagi pelanggan kami adalah harga murah,? ujar Simon yang tetap memberlakukan sistem keanggotaan bagi pelanggannya yang kini berjumlah 500 ribu di seluruh Indonesia.

Menyinggung soal konsep keanggotaan yang terkesan kuno dan membatasi jumlah pelanggan yang bisa datang ini, Simon menjawab bahwa buat Makro yang penting bukan berapa banyak konsumen yang datang ke gerai, melainkan berapa besar uang yang dibelanjakan konsumen tersebut.

Terkait dengan positioning-nya itu pula, akhirnya Makro juga irit promosi. Yang dilakukannya sampai sekarang hanya membuat Makro Mail (dua minggu sekali) dan sesekali beriklan di surat kabar — setahun tidak lebih dari lima kali. Menurut Simon, Makro Mail adalah alat komunikasi langsung antara Makro dan para anggotanya. ?Dengan cara itu, program promosi dapat dilakukan dengan efisien dan langsung menyasar pelanggan Makro yang sesungguhnya,? kata Simon. Berbeda dari beriklan di koran atau media lain, di samping mahal juga lebih banyak tidak kena sasaran.

Di antara hypermarket yang ada, Carrefour paling berani membelanjakan uang untuk iklan. Data ACNielsen menunjukkan, periode Januari-Oktober 2004, Carrefour telah menghabiskan anggaran iklan sebesar Rp 20,79 miliar dengan persentasi terbesar di surat kabar, sebesar Rp 18,33 miliar. Jumlah ini jauh di atas pemain lain, seperti Giant yang pada periode yang sama menghabiskan anggaran Rp 4,41 miliar, Alfa Rp 3,39 miliar dan The Club Store tidak sampai Rp 1 miliar.

Penyebaran katalog juga menjadi unggulan Carrefour hingga sekarang. Tak kurang dari 1 juta katalog disebar setiap kali terbit (dua minggu sekali). Selain katalog besar yang mewakili seluruh toko, ada juga katalog pendek yang disebut fresh yang di- update setiap lima hari. Ada lagi, Action Spot, seperti yang diungkap di atas. Untuk menyelenggarakan program ini, Carrefour bekerja sama dengan prinsipal produk yang dipromosikan dan biaya promosi ditanggung bersama.

Terobosan Carrefour yang fenomenal adalah menjual barang elektronik rumah tangga dengan harga murah dan pembayarannya bisa dicicil dengan bunga 0%. Bekerja sama dengan perusahaan pembiayaan konsumen Sumber Kredit, Carrefour membuat ketiga pihak (Carrefour, prinsipal produk dan Sumber Kredit) bersama-sama meraih kepentingan yang sama, yakni meningkatkan penjualan dan meraih awareness. Program yang awalnya coba-coba ini ternyata mendapat sambutan pasar yang luar biasa, hingga sekarang semua hypermarket menyelenggarakan program serupa.

Setelah itu muncul ide program trade-in. Mulanya adalah Philips yang mengelar promo tukar tambah kerja sama dengan Carrefour awal 2002. Hasilnya? Baik Philips maupun Carrefour kewalahan dengan banjirnya penukaran. Padahal, waktu itu masih sebatas pada elektronik tertentu: televisi. Namun, seperti pepatah: ada gula ada semut, kesuksesan program ini juga mendorong produsen barang-barang elektronik lainnya mengikuti sehingga belakangan malah menjadi tren. Tercatat, Sony pernah menjalin kerja sama dengan Makro dan Carrefour; begitu pula LG Electronics dan Sanken pernah menyelengarakan program serupa yang menjalar sampai lintas kategori, baik jenis maupun mereknya. Teve bekas merek tertentu bisa ditukar dengan DVD atau kulkas merek lain.

Stimulus merebut hati pelanggan agar tetap loyal, dilakukan Carrefour dengan menawarkan Kartu Belanja Carrefour (KBC) yang diluncurkan 22 April 2003. Kartu plastik hasil kerja sama Carrefour dengan General Electric Consumer Finance (GE) dan Master Card ini, bukan sekadar berfungsi sebagai kartu belanja, melainkan juga dapat menjadi kartu kredit dan bisa menarik uang tunai, serta berfungsi sebagai kredit berjangka dan kredit cicilan. Di luar semua itu, tentu, para pemegangnya memperoleh beberapa promosi menarik, seperti gratis aneka cenderamata, undian berhadiah, potongan harga hingga voucher belanja. Selain itu, pemegang KBC yang nilai belanjanya dibayar tunai di akhir bulan akan mendapat potongan harga sebesar 1,5%.

Sejauh ini, baru Carrefour yang menerbitkan kartu yang juga berfungsi sebagai kartu kredit. Bahkan di seluruh dunia pun, hanya Carrefour Indonesia yang melakukannya. Sementara hypermarket lainnya masih mengandalkan kartu keanggotaan (membership), seperti Alfa Family Club (AFC) yang diluncurkan Maret 2001. Menurut pengakuan Rully, saat ini jumlah pemegang kartu AFC sekitar 600 ribu orang. Dari jumlah itu, pemegang kartu aktif (minimal belanja sebulan sekali atau minimal Rp 100 ribu/belanja) sekitar 130 ribu orang. ?Pemegang kartu akan mendapatkan diskon 1,5% di seluruh gerai Alfa, terutama jika membayar dengan cash,? ungkap Rully lalu menambahkan, tahun 2005 pihaknya akan memberikan point reward terhadap konsumennya.

Model keanggotaan yang dimaksudkan sebagai upaya memanjakan pelanggan, dalam kenyataannya dirasakan kurang efektif oleh konsumen. Seperti ditengarai Yadi Budhisetiawan, pengamat pemasaran, konsumen sering tidak merasakan benefit-nya. Praktik keanggotaan — apalagi seperti yang dilakukan Makro dan ClusStore — justru menghambat perkembangan mereka. ?Toh, harga yang ditawarkan bagi anggota dan non- anggota tidak berbeda, kecuali diskon yang sangat kecil,? ujar Yadi. Karena itu, jika tidak segera dievaluasi, khususnya dengan memberikan nilai tambah yang berarti, program keanggotaan itu akan tidak banyak diminati konsumen.

Strategi cerdas memanjakan pelanggan justru ditawarkan Makro. Sejak tahun lalu, Makro rajin menggelar kegiatan promosi below the line yang cukup heboh dinamai Makro Fair. Ini adalah ajang pameran, seminar, lomba, demo, dan berbagai kegiatan yang terkait dengan bisnis horeka. ?Market kami berbeda. Mereka membutuhkan wadah seperti yang kami selenggarakan ini,? ujar Simon dalam wawancara dengan Majalah Mix. Dengan menyelenggarakan program ini, Simon berharap masing-masing pihak menjadi happy, baik pemasok maupun pelanggan Makro.

Sesungguhnya, target pasar horeka Makro saat ini masih kurang dari 10%, sementara yang terbesar para peritel yang membeli barang untuk dijual kembali (55%). Namun, Simon yakin, segmen pelanggan ini akan terus membesar dari tahun ke tahun. Itu sebabnya, ia mengaku sangat serius menggelar acara yang dinamis, dengan harapan akan menyumbang omset lebih besar lagi di tahun-tahun mendatang.

Bagi hypermarket, tenaga dan pikiran memang terkuras untuk mengupayakan bagaimana mendatangkan untung sebesar mungkin. Pasalnya, bisnis ini memang padat modal dan padat biaya. Untuk dapat beroperasi, satu gerai hypermarket membutuhkan dana investasi Rp 30-50 miliar, belum termasuk barang. Sementara itu, breakeven point paling cepat dicapai setelah lima tahun.

Pengamat ritel Jasa B. Adji mengatakan, jika usaha ritel dilakukan dengan baik, sebenarnya tidak mungkin rugi. ?Usaha ini mengandalkan putaran cash yang tinggi,? ungkapnya. Maka, dibutuhkan kecerdikan sekaligus kecermatan mengatur sirkulasi uang yang berjalan. Praktik yang biasanya dijalankan, misalnya, pembayaran kepada pemasok menggunakan term of payment berjangka 30 hari, sedangkan konsumen datang ke gerai membayar cash ataupun dengan kartu kredit yang selang dua hari sudah masuk ke rekening peritel. Dengan tenggat tersebut, menurut Jasa, peritel mempunyai overnight interest di bank yang sudah bisa menutup biaya overhead. Misalnya, dalam satu hari pendapatan satu gerai Carreour mencapai Rp 500 juta, maka dalam sebulan memperoleh Rp 15 miliar. ?Dari sini terlihat, margin tipis bukan lagi masalah, karena volume pembeliannya besar dan memanfaatkan overnight interest dari bank,? Jasa menegaskan.

Yang dikhawatirkan hypermarket adalah jika cash flow tidak mengalir dengan baik karena target kunjungan belanja tidak memadai. Inilah pangkal tolak kerisauan sekaligus kepanikan hypermarket mengejar target pelanggan. Hypermarket terus memantau tren dan mengantisipasinya untuk mendapat keuntungan darinya.. Misalnya, ketika membaca tren bahwa penjualan elektronik dan furnitur di hypermarket terus bergerak naik, Carrefour langsung mencegat dengan produk private label elektronik.

Biasanya private label berupa barang generik, seperti gula, beras dan tisu. Adapun Carrefour mengambil langkah berani dengan meluncurkan private label produk elektronik dan home appliances. Dengan merek Bluesky dan First Line, produk elektronik yang tersedia antara lain teve, elmari es, AC, mesin cuci, rice cooker, pemanggang roti, setrika, penyedot debu, coffee maker, hair dryer, kipas angin, microwave, dispenser, radio cassette dan VCD player.

Harga kedua merek tersebut jauh lebih murah dibanding produk sejenis dari merek lain. Betapa tidak, mesin cuci Bluesky dua tabung kapasitas 6-7 kg dijual tak sampai Rp 600 ribu, padahal merek-merek lain pasti di atas Rp 1 juta. Setrika listrik merek Firstline hanya dijual Rp 25 ribu, sementara merek lain sekitar Rp 60 ribu. Pendek kata, Carrefour ingin mencuri pasar dengan value harga yang lebih murah. Jika tren furnitur terus meningkat penjualannya, tidak mustahil Carrefour akan pula mengembangkan private label untuk furnitur. ?Bagi Carrefour, yang penting sesuai dengan karakternya: bermain di harga murah dan kelengkapan produk, untuk barang apa saja,? ujar Sugiyanto Wibawa, mantan eksekutif Superindo yang banyak mengamati dunia ritel.

Persaingan yang kini berlangsung, menurut Sugiyanto, tidak terlalu berarti buat Carrefour. Pasalnya, perusahaan asal Prancis ini telanjur sangat besar, baik dalam kuantitas maupun kualitasmya. Carrefour menanamkan investasi untuk jangka panjang. ?Jangkauannya sudah jangka panjang,? ujarnya. Itu sebabnya, menurut dia, saat ini tidak ada pesaing yang setimpal dengannya. ?Kalau ada pesaing asing lain yang masuk, seperti Cosco, mungkin baru bisa menyaingi dominasi Carrefour,? Sugiyanto berandai-andai.

Menurut Handaka Santosa, Chairman Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, persaingan justru akan membuat Carrefour ataupun hypermarket lain makin efisien. Dengan mampu bersaing, keandalan masing-masing pemain akan teruji dan terus waspada mengelola usahanya, daripada terjungkal oleh lawan. Maka, Handaka meyakini, selama persaingan masih dalam batas normal, yang satu tidak membatasi yang lain, maka dunia bisnis eceran di Indonesia akan berkembang luar biasa.

Yang terpenting, peluang pasar masih terbuka luas. Pasar hypermarket belum bisa dibilang jenuh, di kota-kota besar sekalipun. Karena itu, para pemain sebenarnya tak perlu memiliki kekhawatiran sangat tinggi — sampai dikatakan paranoid — untuk menggaet pengunjung sebanyak-banyaknya. Yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana memberikan karakter dan positioning pada hypermarket sesuai dengan kebutuhan, keinginan dan perilaku target pasarnya. Semua itu dapat dilakukan jika hypermarket tahu betul apa yang akan mereka garap, dan paham betul consumer insight yang terselubung dalam perilaku dan pola belanja pelanggan-pelanggannya.

By : Bang Udin
----------------------------------------------------------------------------------
Gunakan ----{ CTRL + F }---- Untuk Mencari Artikel
----------------------------------------------------------------------------------
Postingan Baru :
TERIMAKASIH SUDAH BERKOMENTAR

Read More...