DON'T LIKE ME

Persaingan Hypermarket: Dari Potong Harga hingga Kartu Belanja


 ----------------------------------------------------------------------------------
Kamis dan Jumat adalah jadwal tetap hypermarket memajang produk murahnya di tabloid dan koran. Dua hari menjelang akhir pekan itu biasanya dimanfaatkan untuk menawarkan barang yang dijual dengan harga bersaing dalam periode tertentu (tiga hari) — Carrefour menyebutnya Action Spot, promosi dengan harga sangat murah untuk produk tertentu dan pada periode tertentu pula.. Apa saja hajaar, asal memikat pengunjung; dari daging giling, ayam potong, bawang merah, durian monthong hingga televisi ataupun DVD.

Promosi memang hanya menawarkan selisih harga relatif kecil, ribuan rupiah atau bahkan tak lebih dari Rp 1.000. Contohnya, Giant menawarkan PediaSure Complete 900 gr seharga Rp 130.000; sementara pada saat yang sama, Carrefour menawarkannya dengan harga Rp 129.000. Atau di salah satub gerai hypermarket, durian monthong ditawarkan Rp 1.200/ons, dan gerai hypermarket lain menawarkan Rp 1.100/ons; berarti hanya selisih Rp 100/ons. Namun, jangan anggap enteng upaya itu . Untuk memberikan harga tersebut, hypermarket harus memeras otak, tengok kanan-kiri (pesaing), dan bahkan kalau perlu jual rugi, demi konsumen mau berbelanja ke hypermarket-nya. Belum lagi menyangkut biaya yang dihabiskan. Menurut Donny Prianto, Direktur Pengelola Avicom yang menangani Carrefour, setidaknya kliennya menghabiskan dana lebih dari Rp 1 miliar/bulan untuk biaya promosi.

Hypermarket tidak akan membiarkan pengunjungnya lolos begitu saja, apalagi gara-gara harga . Dengan makin tumbuhnya hypermarket saat ini, tingkat persaingannya pun makin menggila. Seorang pengamat eceran berkomentar, hypermarket saat ini seperti terserang paranoid. Mereka takut betul jika pesaing memberikan harga lebih murah darinya. Simon Collin, Presiden |Direktur Wholesaler Makro mengaku, setiap Kamis pagi, ia rela memelototi daftar harga ratusan item produk di berbagai hypermarket guna memantau dan mempertahankan posisi Makro sebagai wholesaler yang men-deliver harga murah. Majalah Mix pernah melihat, di meja kerjanya, Simon menggelar kertas print out besar berisi rincian harga ratusan item produk di gerai-gerainya dibandingkan dengan harga peritel lain. Dia harus memastikan, tidak satu pun item produk yang dijual Makro lebih mahal dibanding pesaingnya.

Simon mengklaim, Makro saat ini memberikan harga terbagus buat konsumen. Pasalnya, biaya operasional Makro jauh lebih rendah dibanding pemain lainnya. Sebut saja, dalam hal tenaga kerja. Jika hypermarket lain membutuhkan lebih dari 400 orang per gerai, Makro hanya butuh 100 orang. Selain itu, bangunan toko Makro juga tidak sebagus dan semewah hypermarket lain. ?Bahkan, toko-toko yang berada di luar Jawa tidak menggunakan AC dan memanfaatkan sinar matahari sebagai penerangan di waktu siang,? paparnya.

Makro juga tidak memberikan kantong plastik cuma-cuma kepada pelanggannya. Penggunaan kartu kredit dikenakan charge. ?Di bisnis eceran, setiap rupiah yang dikeluarkan peritel adalah tanggungan pelanggannya,? ungkap Simon. Menurutnya, Makro sangat diuntungkan karena membeli produk dalam jumlah besar, sehingga memiliki posisi tawar sangat kuat. ?Kami adalah pelanggan terbesar bagi Unilever, Nestle, P & G, dan perusahaan besar lainnya lagi,? ujarnya bangga.

PT Alfa Retailindo tak mau kalah soal harga murah. Gerai yang disebut sebagai gudang rabat ini mati-matian mendapatkan harga yang kompetitif demi mempertahankan kredibilitas dan positioningnya sebagai toko yang selalu memberikan harga diskon. ?Ini dilakukan untuk menumbuhkan persepsi konsumen bahwa Alfa adalah toko gudang rabat. Jadi, harga harus menjadi sebuah persepsi yang kuat di benak konsumen,? kata Eddy Supardi, Direktur Pengelola PT Alfa Retailindo Tbk. di sela-sela seminar ritel beberapa waktu lalu.

Kepada SWA, Rullyanto Lukman, Presdir PT Alfa Retailindo Tbk., mengatakan, tidak tertutup kemungkinan pihaknya mengutip margin 0%. ?Bila sedang promosi ada beberapa produk yang dijual di bawah harga beli supaya menarik konsumen,? ujarnya. Ia memperkirakan sekitar 50 item produk dijual dengan harga sangat murah setiap bulan.

Seperti halnya Makro, Alfa juga memonitor dengan ketat harga-harga yang dipatok pesaing. ?Kami survei ke gerai-gerai lain. Ada harga yang kemahalan, ada juga yang lebih rendah. Lalu, harga tersebut kami adjust,? papar Rully. Yang pasti, dalam menentukan harga, perusahaan ini menetapkan 200 item produk — terutama barang-barang kebutuhan pokok rumah tangga, seperti susu, gula dan minyak goreng — sebagai sensitive product yang kebijakan harganya harus diambil kantor pusat dan harganya seragam di semua gerai. ?Ke 200 item produk ini harganya harus benar-benar kompetitif,? cerita Eddy dalam seminar.

Beruntunglah, berbagai upaya yang dilakukan Alfa ini diterima positif oleh pasar. Setidaknya terlihat dari temuan survei ACNielsen tentang tren belanja kebutuhan barang fast moving consumer goods di kota besar di 12 negara Asia Pasifik tahun lalu. Survei yang melibatkan 1.019 responden Indonesia menganggap Carrefour, Alfa dan Indomaret sebagai tempat belanja paling murah di mata responden. Yongky Surya Susilo, Direktur Pengembangan Peritel dan bisnis ACNielsen, mengungkapkan bahwa temuan tersebut diketahui dari tingginya persentase kebiasaan belanja responden yang termasuk kriteria impuls shopping, yakni sekitar 85%, yang berarti , ketiga ritel ini berhasil memikat pengunjung dengan tawaran harga murah.

Sejak masuk Indonesia pertama kali bulan Oktober 1998, Carrefour sudah menantang dengan konsep harga murah dan promosi yang efektif. Manajemen Carrefour dalam berbagai kesempatan selalu mengatakan, kunci sukses Carrefour menembus pasar Indonesia adalah karena menawarkan harga bersaing, pilihan yang lengkap, kualitas yang baik dan layanan yang memuaskan.

Khusus soal harga murah, strategi yang ditempuh Carrefour sebenarnya tak jauh berbeda dari hypermarket lain, yakni membeli langsung ke produsen, membeli barang dalam jumlah besar, tidak mengambil margin tinggi dan tidak menerapkan sistem konsinyasi. Namun, posisinya yang ada di atas saat ini membuat beberapa langkah Carrefour — sesungguhnya juga dilakukan pemain lain — mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, terutama dalam hubungannya dengan pemasok. ?Carrefour termasuk hypermarket yang kaku dan banyak menekan terhadap supplier,? komentar seorang manajer perusahaan distribusi consumer goods yang enggan disebut namanya.

Tidak peduli dengan suara-suara miring, Carrefour dengan mantap terus melangkah. Kini, dengan 15 gerai di lokasi-lokasi strategis — cenderung di tengah kota — Carrefour menjadi motor persaingan antar-hypermarket di Indonesia; baik soal lokasi, penataan ruangan, program loyalitas pelanggan, program promosi berhadiah, hingga soal strategi harga murah.

Menyangkut lokasi, misalnya, Carrefour sengaja bergandeng tangan dengan PT Duta Pertiwi Tbk. Kedekatan di antara dua institusi ini sebenarnya sudah berlangsung lama, yakni ketika Continent milik PT Sinar Mas Group diakuisisi Carrefour, sejak itu pula, Duta Pertiwi yang juga dari Grup Sinar Mas ada di dekatnya. Sampai sekarang, keduanya seiring sejalan: saat Duta Pertiwi membangun ITC, di situ pula Carrefour memperoleh prioritas sebagai penyewa utama — seperti yang terbaru, ITC Permata Hijau yang diikuti Carrefour Permata Hijau.

Terlepas dengan ikatan kerja sama dengan ITC, Carrefour memang terlihat cerdik mempertimbangkan area cakupan pasar yang luas. Ia selalu membuka lokasi yang dipenuhi pusat bisnis atau daerah perumahan kalangan menengah-atas. Kalau dilihat bagaimana Carrefour merangsek pasar, mulai dari Jalan MT Haryono (Jakarta Utara), lalu Kuningan, Pasar Baru, Ratu Plaza, Lebak Bulus, Permata Hijau hingga Mangga Dua, terlihat bahwa ia selalu membuat pijakan yang bertujuan mengepung Jakarta dan sekitarnya. Hal ini sekaligus merupakan cara menyingkirkan lawan-lawan yang datang belakangan.

Melihat situasi yang berkembang, hypermarket lain tampaknya memilih menjauh dari pertempuran lokasi yang memusingkan. Giant, Hypermart, Makro dan The Club Store cenderung membuat pijakan di pinggir kota, bahkan di luar Jabodetabek. Giant, umpamanya, mengembangkan gerai pertamanya justru di Surabaya dan Tangerang. Begitu pula Hypermart yang mengawalinya dari Serpong, Tangerang. Agak berbeda dari The ClubStore; berawal dari Medan (1996) langsung menembus Jakarta (SCBD), dan diikuti di Kelapa Gading dan Bali.

Ke depan, menurut Rully, Alfa ingin berkonsentrasi mengoptimalkan lokasi yang sudah ada, begitu pula Giant yang memanfaatkan lokasi-lokasi potensial milik Hero. Alasannya, mencari lokasi strategis akan semakin sulit, padahal lokasi punya peran utama. ?Apalagi mencari lokasi di kawasan Jabodetabek, susah sekali! Sudah jenuh,? ujarnya. Sehingga, Alfa berencana menggarap pasar di luar kawasan itu. Yang penting bagi Alfa, survei awal dan kriteria dasar harus terpenuhi dalam memilih lokasi. Misalnya, jumlah penduduk dari suatu perumahan mencapai 15 ribu unit, daya beli masyarakat sesuai dengan segmentasi Alfa yang membidik menengah-bawah, serta tak kalah penting, kemudahan akses jalur lalu lintas. ?Tim survei kami akan mencari lahan yang sesuai dengan target pasar kami,? tegasnya kembali.
Target pasar memang akan memengaruhi lokasi dan penataan dalam ruang belanja. Makro sengaja memilih strategi berlokasi di pinggir kota, karena sesuai target pasarnya. Lain halnya dengan Carrefour, yang selain memilih lokasi pusat bisnis dan permukiman menengah-atas, ia pun sengaja menata suasana belanja yang sesuai target pasarnya. Demi kenyamanan belanja, Carrefour menawarkan suasana belanja Eropa dengan lorong belanja yang luas hingga memudahkan kereta belanja berputar dan bergerak. Pun, jarak antara rak satu dengan rak yang lain dibuat lebih lebar sehingga memudahkan pelanggan ketika belanja. Pengaturan barang-barang menjadi prioritas penting. Carrefour mengatur penempatan barang-barang tahan lama dan barang segar sesuai dengan sirkulasi pelanggan hingga menuju kasir pembayaran.

Makro yang target pasarnya bukan end user, melainkan peritel kecil dan menengah, horeka (hotel, restoran, katering/kantin) serta perkantoran tidak memberikan prioritas penting pada penataan ruang belanja. Konsumen yang datang bukan tipe yang mencari kenyamanan belanja. Mereka datang untuk membeli dalam jumlah besar karena kebutuhan mereka juga besar. ?Yang terpenting bagi pelanggan kami adalah harga murah,? ujar Simon yang tetap memberlakukan sistem keanggotaan bagi pelanggannya yang kini berjumlah 500 ribu di seluruh Indonesia.

Menyinggung soal konsep keanggotaan yang terkesan kuno dan membatasi jumlah pelanggan yang bisa datang ini, Simon menjawab bahwa buat Makro yang penting bukan berapa banyak konsumen yang datang ke gerai, melainkan berapa besar uang yang dibelanjakan konsumen tersebut.

Terkait dengan positioning-nya itu pula, akhirnya Makro juga irit promosi. Yang dilakukannya sampai sekarang hanya membuat Makro Mail (dua minggu sekali) dan sesekali beriklan di surat kabar — setahun tidak lebih dari lima kali. Menurut Simon, Makro Mail adalah alat komunikasi langsung antara Makro dan para anggotanya. ?Dengan cara itu, program promosi dapat dilakukan dengan efisien dan langsung menyasar pelanggan Makro yang sesungguhnya,? kata Simon. Berbeda dari beriklan di koran atau media lain, di samping mahal juga lebih banyak tidak kena sasaran.

Di antara hypermarket yang ada, Carrefour paling berani membelanjakan uang untuk iklan. Data ACNielsen menunjukkan, periode Januari-Oktober 2004, Carrefour telah menghabiskan anggaran iklan sebesar Rp 20,79 miliar dengan persentasi terbesar di surat kabar, sebesar Rp 18,33 miliar. Jumlah ini jauh di atas pemain lain, seperti Giant yang pada periode yang sama menghabiskan anggaran Rp 4,41 miliar, Alfa Rp 3,39 miliar dan The Club Store tidak sampai Rp 1 miliar.

Penyebaran katalog juga menjadi unggulan Carrefour hingga sekarang. Tak kurang dari 1 juta katalog disebar setiap kali terbit (dua minggu sekali). Selain katalog besar yang mewakili seluruh toko, ada juga katalog pendek yang disebut fresh yang di- update setiap lima hari. Ada lagi, Action Spot, seperti yang diungkap di atas. Untuk menyelenggarakan program ini, Carrefour bekerja sama dengan prinsipal produk yang dipromosikan dan biaya promosi ditanggung bersama.

Terobosan Carrefour yang fenomenal adalah menjual barang elektronik rumah tangga dengan harga murah dan pembayarannya bisa dicicil dengan bunga 0%. Bekerja sama dengan perusahaan pembiayaan konsumen Sumber Kredit, Carrefour membuat ketiga pihak (Carrefour, prinsipal produk dan Sumber Kredit) bersama-sama meraih kepentingan yang sama, yakni meningkatkan penjualan dan meraih awareness. Program yang awalnya coba-coba ini ternyata mendapat sambutan pasar yang luar biasa, hingga sekarang semua hypermarket menyelenggarakan program serupa.

Setelah itu muncul ide program trade-in. Mulanya adalah Philips yang mengelar promo tukar tambah kerja sama dengan Carrefour awal 2002. Hasilnya? Baik Philips maupun Carrefour kewalahan dengan banjirnya penukaran. Padahal, waktu itu masih sebatas pada elektronik tertentu: televisi. Namun, seperti pepatah: ada gula ada semut, kesuksesan program ini juga mendorong produsen barang-barang elektronik lainnya mengikuti sehingga belakangan malah menjadi tren. Tercatat, Sony pernah menjalin kerja sama dengan Makro dan Carrefour; begitu pula LG Electronics dan Sanken pernah menyelengarakan program serupa yang menjalar sampai lintas kategori, baik jenis maupun mereknya. Teve bekas merek tertentu bisa ditukar dengan DVD atau kulkas merek lain.

Stimulus merebut hati pelanggan agar tetap loyal, dilakukan Carrefour dengan menawarkan Kartu Belanja Carrefour (KBC) yang diluncurkan 22 April 2003. Kartu plastik hasil kerja sama Carrefour dengan General Electric Consumer Finance (GE) dan Master Card ini, bukan sekadar berfungsi sebagai kartu belanja, melainkan juga dapat menjadi kartu kredit dan bisa menarik uang tunai, serta berfungsi sebagai kredit berjangka dan kredit cicilan. Di luar semua itu, tentu, para pemegangnya memperoleh beberapa promosi menarik, seperti gratis aneka cenderamata, undian berhadiah, potongan harga hingga voucher belanja. Selain itu, pemegang KBC yang nilai belanjanya dibayar tunai di akhir bulan akan mendapat potongan harga sebesar 1,5%.

Sejauh ini, baru Carrefour yang menerbitkan kartu yang juga berfungsi sebagai kartu kredit. Bahkan di seluruh dunia pun, hanya Carrefour Indonesia yang melakukannya. Sementara hypermarket lainnya masih mengandalkan kartu keanggotaan (membership), seperti Alfa Family Club (AFC) yang diluncurkan Maret 2001. Menurut pengakuan Rully, saat ini jumlah pemegang kartu AFC sekitar 600 ribu orang. Dari jumlah itu, pemegang kartu aktif (minimal belanja sebulan sekali atau minimal Rp 100 ribu/belanja) sekitar 130 ribu orang. ?Pemegang kartu akan mendapatkan diskon 1,5% di seluruh gerai Alfa, terutama jika membayar dengan cash,? ungkap Rully lalu menambahkan, tahun 2005 pihaknya akan memberikan point reward terhadap konsumennya.

Model keanggotaan yang dimaksudkan sebagai upaya memanjakan pelanggan, dalam kenyataannya dirasakan kurang efektif oleh konsumen. Seperti ditengarai Yadi Budhisetiawan, pengamat pemasaran, konsumen sering tidak merasakan benefit-nya. Praktik keanggotaan — apalagi seperti yang dilakukan Makro dan ClusStore — justru menghambat perkembangan mereka. ?Toh, harga yang ditawarkan bagi anggota dan non- anggota tidak berbeda, kecuali diskon yang sangat kecil,? ujar Yadi. Karena itu, jika tidak segera dievaluasi, khususnya dengan memberikan nilai tambah yang berarti, program keanggotaan itu akan tidak banyak diminati konsumen.

Strategi cerdas memanjakan pelanggan justru ditawarkan Makro. Sejak tahun lalu, Makro rajin menggelar kegiatan promosi below the line yang cukup heboh dinamai Makro Fair. Ini adalah ajang pameran, seminar, lomba, demo, dan berbagai kegiatan yang terkait dengan bisnis horeka. ?Market kami berbeda. Mereka membutuhkan wadah seperti yang kami selenggarakan ini,? ujar Simon dalam wawancara dengan Majalah Mix. Dengan menyelenggarakan program ini, Simon berharap masing-masing pihak menjadi happy, baik pemasok maupun pelanggan Makro.

Sesungguhnya, target pasar horeka Makro saat ini masih kurang dari 10%, sementara yang terbesar para peritel yang membeli barang untuk dijual kembali (55%). Namun, Simon yakin, segmen pelanggan ini akan terus membesar dari tahun ke tahun. Itu sebabnya, ia mengaku sangat serius menggelar acara yang dinamis, dengan harapan akan menyumbang omset lebih besar lagi di tahun-tahun mendatang.

Bagi hypermarket, tenaga dan pikiran memang terkuras untuk mengupayakan bagaimana mendatangkan untung sebesar mungkin. Pasalnya, bisnis ini memang padat modal dan padat biaya. Untuk dapat beroperasi, satu gerai hypermarket membutuhkan dana investasi Rp 30-50 miliar, belum termasuk barang. Sementara itu, breakeven point paling cepat dicapai setelah lima tahun.

Pengamat ritel Jasa B. Adji mengatakan, jika usaha ritel dilakukan dengan baik, sebenarnya tidak mungkin rugi. ?Usaha ini mengandalkan putaran cash yang tinggi,? ungkapnya. Maka, dibutuhkan kecerdikan sekaligus kecermatan mengatur sirkulasi uang yang berjalan. Praktik yang biasanya dijalankan, misalnya, pembayaran kepada pemasok menggunakan term of payment berjangka 30 hari, sedangkan konsumen datang ke gerai membayar cash ataupun dengan kartu kredit yang selang dua hari sudah masuk ke rekening peritel. Dengan tenggat tersebut, menurut Jasa, peritel mempunyai overnight interest di bank yang sudah bisa menutup biaya overhead. Misalnya, dalam satu hari pendapatan satu gerai Carreour mencapai Rp 500 juta, maka dalam sebulan memperoleh Rp 15 miliar. ?Dari sini terlihat, margin tipis bukan lagi masalah, karena volume pembeliannya besar dan memanfaatkan overnight interest dari bank,? Jasa menegaskan.

Yang dikhawatirkan hypermarket adalah jika cash flow tidak mengalir dengan baik karena target kunjungan belanja tidak memadai. Inilah pangkal tolak kerisauan sekaligus kepanikan hypermarket mengejar target pelanggan. Hypermarket terus memantau tren dan mengantisipasinya untuk mendapat keuntungan darinya.. Misalnya, ketika membaca tren bahwa penjualan elektronik dan furnitur di hypermarket terus bergerak naik, Carrefour langsung mencegat dengan produk private label elektronik.

Biasanya private label berupa barang generik, seperti gula, beras dan tisu. Adapun Carrefour mengambil langkah berani dengan meluncurkan private label produk elektronik dan home appliances. Dengan merek Bluesky dan First Line, produk elektronik yang tersedia antara lain teve, elmari es, AC, mesin cuci, rice cooker, pemanggang roti, setrika, penyedot debu, coffee maker, hair dryer, kipas angin, microwave, dispenser, radio cassette dan VCD player.

Harga kedua merek tersebut jauh lebih murah dibanding produk sejenis dari merek lain. Betapa tidak, mesin cuci Bluesky dua tabung kapasitas 6-7 kg dijual tak sampai Rp 600 ribu, padahal merek-merek lain pasti di atas Rp 1 juta. Setrika listrik merek Firstline hanya dijual Rp 25 ribu, sementara merek lain sekitar Rp 60 ribu. Pendek kata, Carrefour ingin mencuri pasar dengan value harga yang lebih murah. Jika tren furnitur terus meningkat penjualannya, tidak mustahil Carrefour akan pula mengembangkan private label untuk furnitur. ?Bagi Carrefour, yang penting sesuai dengan karakternya: bermain di harga murah dan kelengkapan produk, untuk barang apa saja,? ujar Sugiyanto Wibawa, mantan eksekutif Superindo yang banyak mengamati dunia ritel.

Persaingan yang kini berlangsung, menurut Sugiyanto, tidak terlalu berarti buat Carrefour. Pasalnya, perusahaan asal Prancis ini telanjur sangat besar, baik dalam kuantitas maupun kualitasmya. Carrefour menanamkan investasi untuk jangka panjang. ?Jangkauannya sudah jangka panjang,? ujarnya. Itu sebabnya, menurut dia, saat ini tidak ada pesaing yang setimpal dengannya. ?Kalau ada pesaing asing lain yang masuk, seperti Cosco, mungkin baru bisa menyaingi dominasi Carrefour,? Sugiyanto berandai-andai.

Menurut Handaka Santosa, Chairman Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, persaingan justru akan membuat Carrefour ataupun hypermarket lain makin efisien. Dengan mampu bersaing, keandalan masing-masing pemain akan teruji dan terus waspada mengelola usahanya, daripada terjungkal oleh lawan. Maka, Handaka meyakini, selama persaingan masih dalam batas normal, yang satu tidak membatasi yang lain, maka dunia bisnis eceran di Indonesia akan berkembang luar biasa.

Yang terpenting, peluang pasar masih terbuka luas. Pasar hypermarket belum bisa dibilang jenuh, di kota-kota besar sekalipun. Karena itu, para pemain sebenarnya tak perlu memiliki kekhawatiran sangat tinggi — sampai dikatakan paranoid — untuk menggaet pengunjung sebanyak-banyaknya. Yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana memberikan karakter dan positioning pada hypermarket sesuai dengan kebutuhan, keinginan dan perilaku target pasarnya. Semua itu dapat dilakukan jika hypermarket tahu betul apa yang akan mereka garap, dan paham betul consumer insight yang terselubung dalam perilaku dan pola belanja pelanggan-pelanggannya.

By : Bang Udin
----------------------------------------------------------------------------------
Gunakan ----{ CTRL + F }---- Untuk Mencari Artikel
----------------------------------------------------------------------------------
Postingan Baru :
TERIMAKASIH SUDAH BERKOMENTAR


Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar